Fakta mengenai Industri dan bisnis Rokok di Indonesia

No Smoking

Minggu, 30 Oktober 2011

Masalah Rokok dan Kesehatan Anak Muda

Faktor risiko pada kelompok usia muda (15-24 tahun) di Indonesia adalah perilaku merokok. Seperti yang telah banyak dipubikasikan bahwa rokok adalah hasil olahan tembakau yang terbungkus dan mengandung nikotin serta tar baik dengan atau tanpa bahan tambahan lain. Rokok diketahui mengandung 4.000 bahan kimia berbahaya bagi tubuh manusia. Rokok pada berbagai intensitas baik pada pria dan wanita juga diketahui sebagai faktor penyebab sejumlah penyakit mematikan, seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker perut, kanker paru-paru, penyakit paru obstruktif kronis, penyakit jantung koroner, dan lainnya (Ambrose dan Barua, 2004; Mucha, Stephenson, et.al., 2006).

Rokok merupakan faktor risiko di kalangan muda perlu menjadi perhatian khusus oleh promosi kesehatan. Perilaku merokok saat ini di Indonesia sudah menjadi bagian dari gaya hidup kaum muda. Berdasarkan laporan Riskesdas 2010, diketahu bahwa rata-rata umur mulai merokok di Indonesia yaitu 17,6 tahun. Rata-rata jumlah batang rokok yang mereka hisap yaitu 1-10 batang tiap harinya. Bahkan 20% dari perokok di Indonesia, merokok sejumlah 11-20 batang perhari (Kemenkes, 2010). Padahal merokok 1-4 batang perhari juga sudah dapat menimbulkan bahaya seperti penyakit hati ischaemic dan kanker (Mucha, Stephenson, et.al., 2006). Untuk jumlah pengeluaran rumah tangga dilihat dari pola konsumsi sebagian masyarakat cukup memperihatinkan. Masyarakat yang tergolong rawan pangan di pedasaan saja memiliki pengeluaran untuk tembakau melebihi kelompok tahan pangan (Saliem dan Ariningsih, 2009).
Masih berdasarkan Riskesdas 2010, masalah rokok yang tergambarkan di tingkat nasional juga dialami serupa di daerah, termasuk Propinsi Kalimantan Barat dalam hal ini. Lebih dari sepertiga penduduknya adalah perokok, yaitu sebesar 34,3%. Meningkat jumlahnya jika dibandingkan dengan proporsi perokok di tahun 2007, yaitu 27,2%. Bahkan di daerah ini mayoritas perokok berperilaku merokok di dalam rumah bersama anggota keluarga lainnya. Proporsi perilaku tersebut termasuk yang terbesar secara nasional yaitu 86,4%. Berbeda dengan propinsi DKI Jakarta yang telah menetapkan larangan merokok yaitu dengan proporsi 50,5%. Begitupula dengan masalah rokok pada usia muda juga dialami oleh propinsi ini. Rata-rata umur perokok pemula di Kalimantan Barat adalah 17,5 tahun, tidak jauh berbeda dengan rata-rata umur perokok pemula secara nasional (Kemenkes, 2010).
Secara kultural usia 17 tahun (kurang lebih) merupakan usia yang diidentikkan dengan usia pelepasan masa remaja tanggung. Bahkan sunatan (sirkumsisi) juga dianggap masyarakat sebagai gerbang kedewasaan. Tahap ini dianggap saat yang tepat kaum muda diperbolehkan untuk mengerjakan kegiatan-kegiatan yang umunya dilaksanakan orang dewasa, seperti pacaran, mengendarai kendaraan motor sendiri, termasuk merokok. Pada acara-acara seremonial termasuk perayaan sunatan tidak lepas dari suguhan rokok. Rokok juga menjadi hadiah bagi anak yang disunat, dan bahkan diberikan sendiri oleh orang tuanya. Tradisi dan lingkungan ini membentuk nilai dikalangan remaja, bahwa rokok adalah simbol kedewasaan dan kejantanan, sarana untuk pergaulan (Ng, et.al.,2007; Sadikin dan Melva, 2008). Nilai-nilai yang umumnya dimiliki kalangan muda seperti itu yang dimanfaatkan oleh industri rokok dunia sebagai bagian dari strategi pemasaran mereka
Strategi pemasaran industri rokok tersebut terlihat dari begitu gencarnya iklan rokok di banyak saluran masyarakat. Banyaknya iklan di televisi, koran, majalah, pada acara olah raga, acara musik, yang kebanyakan dirancang untuk kaum muda. Mereka menggunakan strategi yang terstandar dalam memperluas identias merek dan pesan periklanan. Dalam hal ini mereka memanfaatkan nilai-nilai penting yang dimiliki kaum muda yang umumnya telah terpapar globalisasi. Nilai-nilai yang dimaksud yaitu kebebasan, hedonisme, kemerdekaan, kenyamanan. Strategi ini jelas tergambar dalam konsep pemasaran Philip Morris sebagai industri rokok terbesar di dunia (Hafes dan Ling, 2005).
Dampaknya terlihat dari gambaran yang terbentuk dari perilaku rokok masyarakat kita. Mereka menggambarkan bahwa perilaku merokok membantu dalam pertemanan, dan merasa kurang nyaman ketika tidak merokok. Perilaku merokok juga dianggap sebagai bagian dari maskulinitas (kejantanan), yaitu label yang menjadi pencarian kaum muda. Dan mereka akan malu ketika tidak pernah merasakan rokok, karena akan dianggap banci atau wadam. Gambaran lain yang paling sering mengemuka yaitu perilaku merokok mampu mengurangi stres yang  mereka hadapi. Namun hanya sedikit di antara perokok yang merasa bahwa rokok berbahaya bagi orang di sekitarnya (perokok pasif) (Nithcer, et.al., 2009). Leluasanya strategi mereka juga disebabkan oleh lemahnya kebijakan publik untuk membatasi kebebasan merokok. Itu terlihat dari murahnya harga rokok, periklanan yang bebas, penjualan yang tidak dibatasi dan lainnya (Sadikin dan Melva, 2008).
Kebijakan anti rokok yang dimiliki negara maju menyebabkan industri rokok memutar strategi pemasaran mereka kepada negara berkembang, seperti Indonesia (Hafes dan Ling, 2005). Itu terlihat dari akusisi 97% HM Sampoerna oleh Philip Morris International pada tahun 2005. Apalagi Indonesia belum meratifikasi FCTC (Framwork Convention of Tobacoo Control) dan belum memiliki regulasi pada tingkat nasional (Ng, et.al., 2007). Akan tetapi upaya penanggulangan rokok tidak hanya sebatas pada penegakan hukum dan regulasi, melainkan juga perlu upaya pendekatan kognitif dan perilaku yang personal. Pendekatan ini lebih bertujuan pada membuat perokok dan non-perokok mengerti dampak rokok secara spesifik, mengikis mitos dan tradisi tentang rokok, serta membantu perokok untuk berhenti dari kebiasaan merokok (Sadikin dan Melva, 2008).


link terkait:
Refereces:
Ambrose, J.A., & Barua, R.S. (2004) The Pathophysiology of Cigarette Smoking and Cardiovascular Disease. An Update, Journal of the American College of Cardiology,10:1731-1737.
Hafes, N., & Ling, P.M. (2005) How Philip Morris Built Marlboro Into a Global Brand for Young Adults: Implications for International Tobacco Control, Tobacco Control, 14: 262-271.
Kementerian Kesehatan RI. (2010) Riset Kesehatan Dasar, RISKESDAS 2010, Badan Penelitian dan Pengembangan, Jakarta.
Sadikin, Z.D., & Lousia, M. (2008) Program Berhenti Merokok, Majalah Kedokteran Indonesia, 58:130-137.
Saliem, H.P., & Ariningsih, E. (2009) Perubahan Pola Konsumsi dan Pengeluaran Rumah Tangga di Pedesaan: Analisis data SUSENAS 1999-2005, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Mucha, L., Stephenson, J., Morandi, N., & Dirani, R. (2006) Meta-Analysis of Disease Risk Associated with Smoking, by Gender and Intensity of Smoking, Gender Medicine, 4: 279-291.
Ng, N., Weinehall, L., & Ohman, A. (2007) ‘If I don’t smoke, I’m not a real man’—Indonesian teenage boys’ views about smoking, Oxfordjournals, 22:794-804.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;