Fakta mengenai Industri dan bisnis Rokok di Indonesia

No Smoking

Senin, 17 Desember 2012

Rokok adiktif. Benarkah?


Adalah judul berita yang bisa teman-teman baca di beberapa headline majalah online di internet belakangan ini. Salah satunya di situs yang cukup populer Vivanews. NU beranggapan UU Kesehatan yang menyebutkan tembakau mengandung zat adiktif telah menimbulkan keresahan petani tembakau atas kesinambungan lapangan pekerjaan mereka.
Terlepas dari bahwa ada jutaan petani tembakau di Indonesia dan besarnya pengaruh industri rokok dalam peta perpolitikan di tanah air, pemberitaan akan tuntutan ini juga bisa memberikan informasi yang tidak berimbang, sepintas bisa muncul anggapan bahwa NU tidak mengakui tembakau mengandung zat adiktif, hal yang tidak saya yakini. Mengapa karena NU dikenal memiliki banyak ahli atau pakar di berbagai bidang termasuk kimia dan kesehatan. Saya yakin seribu persen NU menyadari bahwa tembakau memang mengandung nikotin yang bersifat adiktif, lalu mengapa mereka tetap meneruskan gugatan?
Disejajarkan dengan ganja, itulah kata kunci yang ingin diserang NU, meletakkan tembakau berdampingan dengan ganja dalam sebuah ayat/pasal dianggap membahayakan karena menuduh tembakau sama jahatnya dengan ganja sebagai tumbuhan yang menghasilkan zat adiktif berbahaya. Faktanya adalah ganja jelas jelas dilarang ditanam dan diedarkan oleh UU sementara tembakau bisa ditanam bebas dan diperjulbelikan di pasar secara bebas.
Lalu apakah NU benar bahwa tembakau tidak boleh disejajarkan sebagai zat adiktif dalam satu ayat/pasal sama dengan ganja? Apakah tembakau mengandung zat adiktif? kalau iya apa bedanya dengan ganja? baik efek personal maupun kesehatan masyarakat? Saya akan mencoba membahasnya sedikit dengan menjelaskan aspek biokimiawi tubuh dan kesehatan masyarakat dari tembakau ini dari berbagai sumber terpercaya yang tersedia.
Apa bukti bahwa tembakau mengandung zat adiktif? Daun tembakau digunakan manusia dengan berbagai metode, ada yang melintingnya menjadikan rokok, ada yang menggunakan pipa, ada yang menjadikannya cigaret ada juga yang mengunyahnya (di Bali disebut nginang), ada juga yang menghisapnya melalui hidung (sniff). Yang jelas adalah penggunaan daun tembakau dalam bentuk apapun memicu pengulangan atau penggunaan kembali, bahkan ada dalam jumlah yang lebih banyak baik frekuensi maupun kadarnya. National Institute on Drug Abuse (http://www.drugabuse.gov)  melaporkan bahwa kurang lebih 35 juta orang perokok yang menginginkan berhenti setiap tahunnya tetapi 85% dari mereka kemudian kembali merokok setelah hanya 1 minggu berhenti. Adiksi atau ketergantungan adalah keinginan berulang untuk memakai atau menggunakan atau melakukan suatu zat atau tindakan yang dicirikan dengan toleransi terhadap penggunaannya dan gangguan psikologis akibat tidak menggunakannya. Dari data tersebut dan definisi adiksi maka bisa dipastikan memang pemanfaatan tembakau untuk konsumsi manusia jelas bisa menimbulkan ketagihan.
Zat apa dalam tembakau yang menimbulkan adiksi? Zat yang menjadi tertuduh adalah nikotin, senyawa kimia ini adalah stimulan yang bisa memicu perasaan senang dan berenergi secara sementara. Bagi yang sedang mengalami masalah nikotin dapat membantu menyediakan dorongan semangat dan energi dalam waktu yang cepat. Nikotin juga memicu pelepasan beta endorphin yang menimbulkan efek waspada tetapi tetap tenang, sangat menyenangkan bukan? tetapi efeknya hanya sementara (beberapa menit), jika ingin lebih lama maka anda butuh dosis yang lebih besar artinya frequensi yang lebih sering dan jumlah yang lebih banyak. Ini menyebabkan rokok kretek menjadi lebih populer diantara pengguna tembakau karena kemudahan penyimpanan dan penggunaannya. Masalah lebih lanjut adalah jika kita mendapatkan nikotin secara reguler dan dalam jumlah yang konsisten maka otak kita cenderung melakukan toleransi, ini menyebabkan penurunan energi dan mood, sehingga penggunaan tembakau sebenarnya menjadi alasan untuk “menjadi normal” dibandingkan sebagai pembangkit mood dan energi.
Coklat dan kopi juga menimbulkan ketagihan kan, apa bedanya dengan tembakau? Ya benar sekali coklat atau kopi juga menimbulkan perubahan mood dan energi dalam tubuh kita, tetapi efeknya sangat sangat singkat dan tidak sekuat nikotin dalam tembakau. Ditambah dengan fakta bahwa nikotin terserap lebih cepat ke otak manusia menyebabkan tembakau lebih berbahaya. Nikotin dapat masuk otak hanya dalam waktu 10 detik sejak dihisap dari sebatang rokok, cepat sekali bukan? ini akan mengakibatkan hubungan emosional yang kuat dengan nikotin yang ada dalam tembakau dan rokok ada pada posisi teratas dalam kecepatan ini dibandingkan penggunaan tembakau cara lainnya. Perlu diingat saking kuatnya efek nikotin dalam rokok ini menimbulkan perubahan dalam otak yang disebut toleransi seperti yang saya jelaskan di paragraf sebelumnya.
Apakah adiksi terhadap tembakau murni karena nikotin? Jawabnya tidak, adiksi terhadap tembakau juga dipicu oleh sifat sosial dan pengaruh psikologis dari manusia itu sendiri. Rokok contohnya telah menjadi semacam alat sosialisasi bahkan masuk ke dalam tradisi kehidupan budaya manusia. Di Bali misalnya, rokok di beberapa tempat terlihat terlibat dalam banyak upacara entah sebagai jamuan sosial atau sebagai sarana upacara itu sendiri. Rokok menjadi simbol kejantanan, simbol pergaulan bahkan simbol kesetiakawanan. Ini dimanfaatkan betul oleh iklan rokok yang tidak diijinkan menampilkan rokok tetapi menggunakan berbagai tren sosial sebagai temanya. Cara menghisap, cara memegang, cara membakar menimbulkan keasyikan tersendiri bagi pelakunya. Menuduh nikotin sendirian sebagai penanggung jawab munculnya adiksi pada pengguna tembakau khusunya perokok adalah tidak tepat, konsekuensinya adalah pentingnya memanfaatkan isu sosial dalam upaya penguranga konsumsi rokok.
Apa kerugian konsumsi tembakau? Secara individu jelas ketergantungan adalah resiko nyata yang harus ditanggung pengguna tembakau khususnya perokok, waktu dan uang yang terbuang akibat merokok dan produktivitas yang terganggu tanpa disadari jelas akan menimbulkan kerugian ekonomi tidak hanya bagi perorangan tetapi juga bagi keluarga dan bangsa. Meskipun rokok juga membawa pajak dan pekerjaan pada banyak orang perlu dihitung dengan cermat implikasi ekonomis yang ditimbulkannya. Belum dihitung masalah penyakit yang ditimbulkan konsumsi tembakau dengan cara merokok. Merokok menjadi berbeda karena membakar tembakau dan menghirup asapnya secara epidemiologis meningkatkan resiko terkena kanker paru dan gangguan pembuluh darah, tidak bisa dibantah ada banyak studi longitudinal yang membuktikan hal ini, meskipun sampai sekarang tidak jelas apanya dari kegiatan menghisap asap rokok ini yang memicu kanker dan gangguan pembuluh darah (chemo-bio-patologynya belum diketahui secara jelas). Mungkin ini jugalah yang ditakuti NU dengan menyebutkan dana penelitian untuk tembakau telah dialihkan sehingga peluang untuk meneliti apanya yang memicu kanker dan penyakit lainnya menjadi menurun.
Apa yang kemudian membedakannya dengan ganja? Disinilah pertanyaan yang ingin dikemukakan NU, mereka berdalih jangan mensejajarkan tembakau dengan ganja. Ganja juga memiliki sifat stimulan di samping penghilang rasa sakit, tetapi efeknya pada otak jauh jauh jauh sangat kuat dibandingkan nikotin pada tembakau. Jika penggunaan tembakau pada rokok misalnya menimbulkan adiksi dalam waktu yang cukup lama dan umumnya hanya pada penggunaan yang konsisten maka penggunaan ganja hanya memerlukan waktu yang lebih cepat. Efek perubahan moodnya juga sangat berbeda, rokok masih ditoleransi otak hanya dengan sedikit perubahan mood dan energi sementara ganja bahkan memicu halusinasi. Jika putus menggunakan tembakau hanya memicu efek withdrawal yang bisa dikendalikan, ganja sebaliknya sulit dikendalikan, dan banyak efek negatif lainnya.
Saya tidak akan berdebat atau masuk ke dalam esensi hukum terlalu dalam, pencantuman tembakau atau nikotin khususnya sebagai zat adiktif adalah sesuai dengan ilmu pengetahuan terkini/tersedia. Terlepas dari masalah berat ringannya efek adiksi yang ditimbulkannya, masyarakat harus dibuat sadar bahwa ada resiko yang harus ditanggung akibat perilaku menggunakan tembakau khususnya merokok, jauh lebih sehat dan produktif untuk tidak merokok dibandingkan merokok. Fakta bahwa sebagian besar perokok di Indonesia justru orang miskin adalah hal lain yang harus dipertimbangkan, efek stimulan rokok adalah teman bagi tekanan ekonomi dan sosial yang dihadapi kaum miskin yang dengan malangnya dimanfaatkan habis-habisan oleh industri rokok dengan berbagai produk murah dan variatif. Tembakau memang berbeda, ia telah ada dalam sosial kehidupan kita secara dekat, dekat juga dengan kekuasaan ditambah dengan persepsi masyarakat yang permisif terhadap perokok maka harus ada pendekatan yang berbeda dan kebijakan yang adil bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan, jika tidak gejolak yang akan timbul. Pemasangan poster beberapa orang di Jawa Tengah sebagai musuh petani tembakau harus diambil hikmahnya bahwa ini telah masuk ke pertarungan kepentingan baik uang maupun kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;