Fakta mengenai Industri dan bisnis Rokok di Indonesia

No Smoking

Sabtu, 22 Desember 2012

Semua orang merokok di sini?



Sudah 2 tahun peraturan daerah mengenai Kawasan Tanpa Rokok di kota Pontianak di berlakukan. Tepat 27 Desember 2012 kebijakan tersebut dievaluasi penerapan, sasaran dan capaiannya. Menarik untuk mengkaji efektivitas perda tersebut di masyarakat. Jika melihat pengalaman beberapa kota dan kabupaten lain yang juga telah menerapkan perda serupa, kepatuhan masyarakat terhadap perda KTR masih rendah bahkan cenderung menurun. Hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan di Bogor tahun 2011 memperlihatkan kepatuhan masyarakat sebesar 80% untuk tidak merokok di kawasan yang telah ditetapkan, menurun dibandingkan tahun 2010. Kondisi serupa juga masih terlihat di kota Pontianak, secara kasat mata masih banyak masyarakat yang merokok di wilayah publik, seperti restoran, perkantoran, pasar, wilayah pendidikan bahkan di rumah bersama anggota keluarga lain.

Jika melihat di lapangan, KTR identik dengan larangan merokok di kawasan tertentu. Budaya merokok yang sudah mengakar di masyarakat berupaya dilawan dengan penerapan Kawasan Tanpa Rokok yang diartikan sebagai kawasan dilarang merokok dan sangat minim pesan-pesan kesehatan terkait bahaya rokok. Pemerintah kurang menyadari bahwa strategi yang langsung menyasar kelompok bermasalah dengan perilaku tidak sehatnya yang membudaya justru menimbulkan persepsi “blame the victims”. Apa yang menjadi masalah dalam penerepan perda KTR?

Melihat kerangka penanggulangan masalah rokok (FCTC) WHO, masalah rokok bukanlah sebatas masalah perilaku tidak sehat serta dampak asap bagi orang lain, melainkan seperti jaring yang antara satu titik dengan titik-titik lain saling terhubung. Industri rokok sengaja menanamkan kepercayaan bahwa rokok bukan masalah kesehatan, rokok merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, bahkan rokok terkait dengan level ekonomi sebuah negara. Melalui iklan-iklan mereka di berbagai media, mereka berupaya menyimbolkan rokok sebagai bagian dari aktivitas sehari-hari mayarakat.

Industri rokok menyimbolkan rokok, seperti halnya minuman kopi, bagian dari pekerjaan.  Pesan yang ingin disampaikan yaitu “kalau gak ada rokok gak bisa mikir kerjaan alias otak buntu”. Bahkan dengan sengaja mereka juga menanamkan pesan serupa kepada generasi muda kita melalui sponsor yang diberikan pada kegiatan musik, olah raga termasuk beasiswa pendidikan. Pesan-pesan iklan ini yang melatarbelakangi membudayanya rokok di masyarakat, sehingga tidak satupun orang yang peduli dengan perilaku merokok remaja dan meningkatnya proporsi perilaku merokok saat ini. Membudayanya rokok di masyarakat berarti menciptakan demand bagi industri untuk mempermudah akses produk mereka dan sponsor tentunya (Hafes & Ling, 2005; Ng, et al., 2007).

Pemerintah termasuk pemerintah daerah yang seharusnya melindungi masyarakatnya justru terbuai dengan iming-iming pertumbuhan ekonomi. Pemerintah baik pusat dan daerah menjadikan cukai rokok dan iklan mereka sebagai sumber pendapatan negara yang “menggiurkan”. Bahkan industri rokok dianggap sebagai salah satu solusi penyerapan tenaga kerja yang besar, serta simbol ekonomi kerakyatan. Industri rokok berhasil merangkul petani tembakau yang identik dengan masyarakat marginal. Meskipun kenyataannya para petani hanya menikmati keuntungan 500-750 ribu setiap 4 bulan masa tanam. Keuntungan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan tanaman sayur-sayuran seperti cabe merah, bawang merah, kentang dan melok (TSCS, 2010).

 Melihat kompleksnya masalah rokok di Indonesia tentu penerapan KTR semestinya tidak hanya membatasi perilaku merokok di wilayah publik, melainkan upaya yang lebih komprehensif. Piramida yang disusun Bittoun (2005) merupakan referensi penanggulangan rokok yang komprehensif. Upaya penanggulangan rokok melalui KTR didampingi dengan upaya membatasi iklan dan penjualan rokok. Strategi yang tidak kalah pentingnya adalah pendidikan kesehatan yang memberikan pesan akan bahaya rokok dan solusi bagi para pecandu. Kawasan Tanpa Rokok diberlakukan guna membatasi akses masyarakat terhadap produk berbahaya ini dan menekan demand. Strategi ini dapat pula diperkuat dengan penerapan strategi ekonomi, yaitu dengan menerapkan cukai rokok yang kompetitif yang dapat dijadikan sumber pembiayaan kesehatan. Upaya pendidikan kesehatan diharapkan mampu memperbaiki persepsi dan nilai yang terlanjur diracuni oleh iklan industri rokok. Para pecandu juga harus disediakan solusi untuk lepas dari jeratan rokok.

Catatan terakhir yaitu kawasan publik yang telah ditetapkan melalui perda juga dirangkul dan memiliki persamaan persepsi akan keuntungan dari penerapan KTR. Munculnya kebijakan publik akan mampu mengontrol jalannya kabijakan pemerintah serta memelihara kelanggengan KTR. Semoga kegalauan hati penulis dikabulkan oleh Allah, karena hanya Dia-lah yang mampu membolak-balikkan hati penguasa agar sadar dan pentingnya masalah rokok. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;