Sudah 2 tahun peraturan daerah mengenai Kawasan
Tanpa Rokok di kota Pontianak di berlakukan. Tepat 27 Desember 2012 kebijakan
tersebut dievaluasi penerapan, sasaran dan capaiannya. Menarik untuk mengkaji
efektivitas perda tersebut di masyarakat. Jika melihat pengalaman beberapa kota
dan kabupaten lain yang juga telah menerapkan perda serupa, kepatuhan masyarakat
terhadap perda KTR masih rendah bahkan cenderung menurun. Hasil monitoring dan
evaluasi yang dilakukan di Bogor tahun 2011 memperlihatkan kepatuhan masyarakat
sebesar 80% untuk tidak merokok di kawasan yang telah ditetapkan, menurun dibandingkan
tahun 2010. Kondisi serupa juga masih terlihat di kota Pontianak, secara kasat
mata masih banyak masyarakat yang merokok di wilayah publik, seperti restoran,
perkantoran, pasar, wilayah pendidikan bahkan di rumah bersama anggota keluarga
lain.
Jika melihat di lapangan, KTR identik
dengan larangan merokok di kawasan tertentu. Budaya merokok yang sudah mengakar
di masyarakat berupaya dilawan dengan penerapan Kawasan Tanpa Rokok yang diartikan
sebagai kawasan dilarang merokok dan sangat minim pesan-pesan kesehatan terkait
bahaya rokok. Pemerintah kurang menyadari bahwa strategi yang langsung menyasar
kelompok bermasalah dengan perilaku tidak sehatnya yang membudaya justru
menimbulkan persepsi “blame the victims”.
Apa yang menjadi masalah dalam penerepan perda KTR?
Melihat kerangka penanggulangan masalah
rokok (FCTC) WHO, masalah rokok bukanlah sebatas masalah perilaku tidak sehat
serta dampak asap bagi orang lain, melainkan seperti jaring yang antara satu
titik dengan titik-titik lain saling terhubung. Industri rokok sengaja
menanamkan kepercayaan bahwa rokok bukan masalah kesehatan, rokok merupakan
bagian dari kehidupan sehari-hari, bahkan rokok terkait dengan level ekonomi sebuah
negara. Melalui iklan-iklan mereka di berbagai media, mereka berupaya
menyimbolkan rokok sebagai bagian dari aktivitas sehari-hari mayarakat.
Industri rokok menyimbolkan rokok, seperti
halnya minuman kopi, bagian dari pekerjaan.
Pesan yang ingin disampaikan yaitu “kalau gak ada rokok gak bisa mikir
kerjaan alias otak buntu”. Bahkan dengan sengaja mereka juga menanamkan pesan
serupa kepada generasi muda kita melalui sponsor yang diberikan pada kegiatan
musik, olah raga termasuk beasiswa pendidikan. Pesan-pesan iklan ini yang
melatarbelakangi membudayanya rokok di masyarakat, sehingga tidak satupun orang
yang peduli dengan perilaku merokok remaja dan meningkatnya proporsi perilaku
merokok saat ini. Membudayanya rokok di masyarakat berarti menciptakan demand bagi industri untuk mempermudah
akses produk mereka dan sponsor tentunya (Hafes & Ling, 2005; Ng, et al.,
2007).
Pemerintah termasuk pemerintah daerah yang
seharusnya melindungi masyarakatnya justru terbuai dengan iming-iming
pertumbuhan ekonomi. Pemerintah baik pusat dan daerah menjadikan cukai rokok
dan iklan mereka sebagai sumber pendapatan negara yang “menggiurkan”. Bahkan
industri rokok dianggap sebagai salah satu solusi penyerapan tenaga kerja yang
besar, serta simbol ekonomi kerakyatan. Industri rokok berhasil merangkul
petani tembakau yang identik dengan masyarakat marginal. Meskipun kenyataannya
para petani hanya menikmati keuntungan 500-750 ribu setiap 4 bulan masa tanam.
Keuntungan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan tanaman sayur-sayuran
seperti cabe merah, bawang merah, kentang dan melok (TSCS, 2010).
Catatan terakhir yaitu kawasan publik yang
telah ditetapkan melalui perda juga dirangkul dan memiliki persamaan persepsi
akan keuntungan dari penerapan KTR. Munculnya kebijakan publik akan mampu
mengontrol jalannya kabijakan pemerintah serta memelihara kelanggengan KTR.
Semoga kegalauan hati penulis dikabulkan oleh Allah, karena hanya Dia-lah yang
mampu membolak-balikkan hati penguasa agar sadar dan pentingnya masalah rokok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar