Rakyat Indonesia diperkirakan membakar uang untuk merokok senilai Rp 120 Trilyun. Jika uang sebanyak itu digunakan untuk menyehatkan dan mendidik anak bangsa, maka jangka panjang Indonesia akan menjadi negara kuat dan mampu bersaing dengan negara lain. Sayang, bertahun-tahun kita terus melakukan tindakan yang mubazir tersebut, bahkan pemerintah merasa senang karena tahun ini diperkirakan bisa meraup penghasilan cukai sekitar Rp 44 Trilyun.
Dalam ilmu kesehatan telah diketahui bahwa rokok mengandung lebih dari 4.000 bahan kimia berbahaya yang dapat menyebabkan ketagihan, merusak paru, menyebabkan kanker, impotensi, gangguan bayi dalam kandungan dan membahayakan orang di sekitarnya. Sayangnya kebiasaan merokok di Indonesia masih cukup tinggi, sekitar 34,7 % penduduk Indonesia mempunyai kebiasaan merokok. Bahkan 20% dari perokok di Indonesia, merokok sejumlah 11-20 batang perhari. Dan mengerikan lagi perokok di usia yang lebih muda juga dapat ditemui. Berdasarkan hasil survei Global Youth Tobacco (GYT) tahun 2009, sebesar 34,4% anak remaja usia 13-15 tahun pernah merokok dan bahkan 20,3% dari anak usia tersebut merupakan perokok tetap. (Riskesdas 2010).
Masyarakat banyak yang tidak menyadari bahaya rokok bagi dirinya dan keluarganya di masa depan. Oleh sebab itu perlu ada upaya lebih keras untuk mencegah semakin banyak penyakit, kematian, dan kerugian ekonomis yang tidak produktif akibat rokok. Upaya pencegahan merokok tidak hanya dilakukan melalui stretegi pendidikan kesehatan atau penetapan kawasan tanpa rokok melalui perda, tetapi juga dengan membatasi penjualan rokok dan akses terhadap rokok. Strategi tersebut dapat dilakukan dengan menetapkan cukai rokok yang tinggi.
Adanya cukai rokok sesungguhnya secara khusus menunjukkan bahwa rokok merupakan sesuatu yang membahayakan, tidak dianjurkan untuk dikonsumsi, dan mendorong pengurangan konsumsi rokok sehingga cukai juga dikenal dengan istilah black money. Falsafah cukai rokok sesungguhnya menghambat penggunaan rokok dengan memberikan beban ekonomi yang lebih besar. Hal itu merupakan suatu langkah untuk menyehatkan penduduk sekaligus mengurangi pemborosan. Sayang, banyak pengambil kebijakan di Indonesia hanya melihat pemasukan dari rokok, bukan falsafahnya.
Negara-negara yang lebih maju terus menaikan cukai rokok untuk mengurangi pemborosan rakyatnya dan menggunakan uang cukai tersebut untuk promosi kesehatan dan mendanai pelayanan kesehatan bagi rakyat, bukan sekedar yang miskin. Sayangnya, pemerintah Indonesia masih terlalu takut menaikan cukai rokok. Akibatnya semakin banyak rakyat yang menjadi korban. Perusahaan rokok menikmati keuntungan yang luar biasa besarnya dan karenanya semakin agresif memasarkan dan meracuni generasi muda.
Pada banyak negara, seperti di Thailand, Singapura, Australia, Amerika, Kanada, dan lainnya, pemerintah menaikan cukai rokok dan penghasilan tambahan dari kenaikan cukai rokok digunakan khusus untuk mendidik masyarakat untuk berhenti merokok, mendanai pengobatan rakyat yang tidak mampu, membangun fasilitas kesehatan, dan berbagai kegiatan lain. Sangat rasional kegiatan promosi kesehatan di danai dengan cukup besar melalui sumber ini mengingat dampak yang besar pula dihadapi kesehatan oleh masyarakat.
Di Indonesia, industri rokok mendapatkan surga untuk menjual dan meracuni generasi muda untuk mendapatkan keuntungan yang menggiurkan. Iklan rokok bebas dipasang dimana saja, bahkan di depan sekolah. Ironisnya petani, pengecer, pedagang kecil yang selama ini dijadikan alasan untuk tidak menaikan cukai rokok, tidak banyak menikmati hasil yang sepadan dengan yang dinikmati oleh produsen rokok. Semua itu, atas beban rakyat kecil yang harus membayar biaya berobat yang semakin mahal dan terus merogoh kantongnya karena ketagihan.
Hasil studi sementara yang didanai National Institute of Health, Departemen Kesehatan Amerika Serikat, studi dilakukan di tiga negara (Amerika, China, dan Indonesia) menunjukkan bahwa menaikan cukai rokok tidak mengganggu anggaran pemerintah, membantu rakyat menjadi sehat-produktif, dan menghindari dosa dan pemborosan keluarga.
Jika pemerintah berani menaikan cukai rokok dari 37% menjadi paling tidak 45% seperti di Vietnam (tidak usah 63% seperti di Muangthai), maka akan terkumpul sekitar 10 Trilyun rupiah tambahan dana. Tetapi dana tambahan Rp 10 Trilyun tersebut harus digunakan (earmarked tax) untuk promosi kesehatan Rp 1 Trilyun (saat ini dana promosi kesehatan Pusat dan Dekonsentrasi dari APBN sekitar Rp 80 Milyar). Sisanya sebesar Rp 9 Trilyunnya digunakan untuk membayar iuran jaminan kesehatan bagi rakyat yang kurang mampu (bukan hanya yang miskin) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dana tersebut merupakan tambahan dana yang sekarang Rp 4,6 Trilyun untuk program Jamkesmas. Pemerintah akan mendapat kredibilitas yang lebih baik dari yang sekarang.
Semangat Indonesia, kita pasti bisa.
Edited from pusat promkes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar