Fakta mengenai Industri dan bisnis Rokok di Indonesia

No Smoking

Jumat, 30 Desember 2011

Prinsip Kawasan Tanpa Rokok



Rokok merupakan isu kesehatan yang tidak habis-habisnya dibahas dinegeri kita tercinta ini. Isu kesehatan yang syarat dilema dan intri politik (cie2... mantap).   Kita ingat beberapa bulan yang lalu, pasal mengenai rokok digugat di Mahkamah Konstitusi, bahkan perda KTR di DKI Jakarta juga digugat sekelompok komunitas anti rokok yang selalu mengatas namakan rakyat kecil alias wong cilik. Banyak orang yang sudah menyadari bahaya rokok terhadap kesehatan, tetapi banyak orang juga yang belum menyadari hakikat dari Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Kawasan Tanpa Rokok esensinya merupakan strategi untuk melindungi non-perokok dari bahaya asap rokok dan mengurangi dampak iklannya. Mengingat Indonesia adalah pangsa pasar rokok yang besar, dan bayangkan beban kesehatan akibat rokok di masa mendatang.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, terdapat 34,2% orang dewasa adalah perokok aktif, artinya lebih dari dua pertiga penduduk secara potensial terpapar asap rokok orang lain. Data tahun 2001 dari sumber yang sama mencatat 70% anak-anak usia 0-14 tahun adalah perokok pasif di rumah mereka. Merokok seakan telah menjadi norma sosial. Paparan asap rokok di tempat umum dan di depan orang lain ditoleransi oleh masyarakat. GYTS 2006 menemukan 81% pelajar usia 13-15 tahun terpapar dengan asap rokok orang lain di tempat umum dan 64% terpapar di dalam rumah.

Larangan merokok di tempat kerja memberikan dampak kesehatan bagi perokok maupun bukan perokok. Larangan ini akan: (1) mengurangi paparan bukan perokok dari asap rokok orang lain, dan (2) mengurangi konsumsi rokok di antara para perokok. Penelitian dengan jelas menyimpulkan bahwa 100% kawasan tanpa rokok ditempat kerja memberikan keuntungan ekonomis. Hal ini mencegah tuntutan hukum bukan perokok/perokok pasif serta mengurangi biaya-biaya lainnya, termasuk diantaranya biaya untuk kebersihan, pemeliharaan peralatan dan fasilitas, disamping resiko kebakaran, absensi pekerja dan kerusakan harta benda.

Terlebih lagi, para pekerja akan mengkonsumsi rokok lebih sedikit, lebih mungkin untuk berhenti merokok, dan lebih mendorong untuk berhenti merokok dan memungkinkan mereka untuk berhenti lebih cepat daripada pekerja di tempat kerja dengan kebijakan yang lemah.

Beberapa tempat umum memisahkan prokok dari bukan perokok, tetapi hal ini tidak melindungi bukan perokok dari efek karsinogen yang ditimbulkan dari orang yang merokok di ruangan yang sama. Bahkan teknologi ventilasi yang paling modern sekalipun tidak dapat menghilangkan racun berbahaya yang terkandung dalam asap rokok orang lain.

Prinsip Startegi KTR 
1.   Kebijakan perlindungan yang efektif mensyaratkan eliminasi total dari asap tembakau di ruangan sehingga mencapai 100% lingkungan tanpa asap rokok. Tidak ada batas aman dari paparan asap rokok ataupun ambang tingkat keracunan yang bisa ditoleransi, karena ini bertentangan dengan bukti ilmiah. Pendekatan lain untuk peraturan 100% lingkungan tanpa asap rokok termasuk penggunaan ventilasi, saringan udara dan pembuatan ruang merokok (dengan ventilasi terpisah ataupun tidak) yang terbukti tidak efektif. Bukti ilmiah menyimpulkan bahwa pendekatan teknik konstruksi tidak mampu melindungi paparan asap tembakau.

2.   Semua orang harus terlindung dari paparan asap rokok. Semua tempat kerja tertutup dan tempat umum harus bebas sepenuhnya dari asap rokok.

3.      Peraturan harus dalam bentuk legislasi yang mengikat secara hukum. Kebijakan sukarela yang tidak memiliki sanksi hukum terbukti tidak efektif untuk memberikan perlindungan yang memadai. Agar efektif, UU/PERDA harus sederhana, jelas dan dapat dilaksanakan secara hukum.

4.   Perencanaan yang baik dan sumber daya yang cukup adalah esensial untuk keberhasilan pelaksanaan dan penegakan hukum.

5.   Lembaga-lembaga kemasyarakatan termasuk lembaga swadaya masyarakat dan organisasi profesi memiliki peran sentral untuk membangun dukungan masyarakat umum dan menjamin kepatuhan terhadap peraturan; karenanya harus dilibatkan sebagai mitra aktif dalam proses pengembangan, pelaksanaan dan penegakan hukum.

6.   Pelaksanaan dari peraturan, penegakan hukum dan hasilnya harus dipantau dan dievaluasi terus menerus. Termasuk di dalamnya merespon upaya industri rokok untuk mengecilkan arti ataupun melemahkan pelaksanaan peraturan secara langsung maupun tidak langsung dengan menyebarkan mitos keliru yang menggunakan tangan ketiga (pengusaha restoran, masyarakat perokok, dsb).

7.   Perlindungan terhadap paparan asap rokok perlu senantiasa diperkuat dan dikembangkan, bilamana perlu dengan amandemen, perbaikan penegakan hukum atau kebijakan lain menampung perkembangan bukti ilmiah dan pengalaman berdasarkan studi kasus. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;